Jumat, 18 Juni 2010

Perbedaan Bahasa Korea Utara dengan Korea Selatan

Perbedaan antara Korea Utara and Korea Selatan, tak hanya soal politik dan ekonomi.

Bahasa kedua Korea itu juga tak sama.

Sejak kedua negara itu pecah lebih dari enam puluh tahun yang lalu, dialek bahasa mereka berubah.

Alhasil, ribuan pengungsi asal Korea Utara yang menetap di negeri Ginseng kurang mengerti bahasa setempat.

Jason Strother menyoroti masalah ini dari Seoul.

Chae Su Jeong semula tak berniat menjadi pengungsi. Pada 2001, ia dan anak laki-lakinya yang masih kecil, mendapatkan surat dari sang suami yang hilang di Cina, beberapa tahun sebelumnya. Ia meminta mereka datang mengunjunginya, dan membayar beberapa calo untuk mengeluarkan mereka dari Korea Utara.

Setelah melintasi perbatasan, mereka diberikan paspor palsu dan naik pesawat yang mereka pikir menuju kota Dalian, Cina. Chae mengatakan sempat shok ketika pesawat itu mendarat di Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan.

“Waktu itu hati saya cepat berdebar. Ketika saya sadar pesawat mendarat di Korea Selatan, saya ingin langsung pulang lagi ke Korea Utara. Saya tidak berbicara kepada siapapun selama 20 hari. Setelah itu, saya menerima keadaan ini, demi anak laki-laki saya. Saya berpikir suami saya akan mengambil dia kalau saya memaksa untuk kembali ke Korea Utara.”

Tapi kini, ia tak menyesali keputusannya. Seperti 15 ribu warga Korea Utara lainnya yang membelot ke Korea Selatan, Chae menuturkan awalnya kaget melihat begitu banyak mobil dan tv berlayar besar. Ia bahkan heran melihat banyaknya mesin ATM.

Chae menceritakan meski bisa cepat beradaptasi dengan hal-hal itu, ia belum bisa lancar berkomunikasi dengan warga setempat.

Ia menuturkan tak menyadari betapa berbeda bahasa Korea Utara dan Korea Selatan, setelah ia bekerja di perusahaan daur ulang. Kata dia, dalam bahasa Korea Utara hanya ada satu kata untuk menyebut segala macam kertas. Tapi di sini ada banyak kata. Ia malu ketika tak mengerti apa yang dibicarakan teman-teman sekerjanya.

Bahasa Korea Utara, seperti bangsanya sendiri, sudah ketinggalan zaman. Pasalnya, negeri itu masih menggunakan kata-kata dan ungkapan yang tak lagi dipakai oleh warga Korea Selatan, dan maknanya pun sudah berbeda. Contohnya, orang Korea Utara menggunakan kata ben-tu untuk menyebut kotak makan. Kata ini memang digunakan di seluruh semenanjung Korea pada awal abad ke-20. Tapi kini, istilah itu sudah berubah menjadi to-shi-rak di Korea Selatan.

Lainnya adalah ungkapan “Il Op Sum Ni Da” yang berarti baik-baik saja. Di Korea Utara, ini adalah respon yang umum ketika seseorang menanyakan Apa kabar hari ini? Tapi di Korea Selatan, bila menggunakan frase ini dengan orang tertentu, maka punya konotasi yang tak sopan atau bisa bermakna berarti ‘pergi sana.’

Para pengungsi paling sulit beradaptasi dengan bahasa. Itu menurut Ko Gyoung Bin, direktur Hanowon, badan pemerintah Korea Selatan yang memberikan bimbingan bagi para pembelot yang baru tiba di negeri itu, supaya bisa beradaptasi dengan dunia kapitalis.

Mereka mencoba mengajarkan istilah yang baru lewat buku-buku pelajaran. Kata Ko, mereka juga diminta menonton film-film Korea Selatan supaya bisa belajar menggunakan bahasa itu. Ia menambahkan, Hanowon bahkan mempekerjakan mereka yang baru sebentar tinggal di Korea Selatan, supaya bisa membantu menterjemahkan.

Dialek daerah memang ada di seluruh Korea, jadi masalah perbedaan daerah tak telalu mempengaruhi perbedaan dalam bahasa kedua negeri itu. Seperti aspek lainnya dalam kehidupan Korea Utara, bahasa telah dimanipulasi untuk memuji para pemimpin negeri itu.

Kim Seok Hyang dosen di Jurusan Studi Unifikasi Korea. Ia telah menulis buku soal bagaimana warga Korea Utara menggunakan bahasa mereka. Kim memberikan contoh kata yang kini punya makna yang berbeda, sejak Semenanjung Korea pecah.

“Dalam bahasa Korea, sun-mul berarti hadiah untuk teman. Tapi sekarang orang Korea Utara hanya menggunakan kata ini untuk Kim Il Sung dan Kim Jong Il. Jadi hanya Kim Il Sung dan Kim Jong Il yang bisa memberikan sun mul kepada orang lain.”

Selain kesulitan bahasa ini, para pengungsi juga bingung dengan masuknya kata-kata dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Korea Selatan yang dikenal sebagai Konglish.

Seperti nama-nama produk teknologi modern. Bagaimana mungkin seseorang bisa menggunakan fax atau fotokopi dengan mesin Xerox kalau mereka tak pernah mendengar atau melihat barang-barang ini. Chae Su Jeong salah satu pembelot mengaku kesulitan belajar semua kata-kata baru ini.

“Saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan kamera. Di Korea Utara kamera disebut SAJINGI. Karena sekarang saya belajar bahasa Inggris, kehidupan sehari-hari saya semakin mudah. Tapi di universitas, saya tidak bisa mengikuti apa yang dikatakan para dosen dan mahasiswa karena mereka menggunakan begitu banyak kata-kata bahasa Inggris.“

Rezim Pyonyang tak hanya menghindari kata-kata bahasa Inggris dalam bahasa sehari mereka, tapi juga karakter bahasa Cina yang masih dipelajari di Korea Selatan.

Karena itulah orang Korea Utara yakin, mereka menggunakan bahasa tingkat tinggi. Bahkan mereka yang sudah membelot masih berpikiran seperti itu. Seperti yang dikatakan Kim Seok Hyang.

“Menurut para pembelot Korea Utara, mereka masih menggunakan bahasa yang asli dan ini cara mereka untuk melindungi orang Korea Utara dari hal-hal yang kotor di luar negerinya sendiri.”

Yang dimaksud dengan hal-hal yang kotor tentunya adalah kata-kata dalam bahasa Inggris dan Jepang.

Teman-teman Chae Su Jong mengatakan, ia telah kehilangan aksen Korea Utaranya. Tapi bagi Chae, ketika berbicara dengan pembelot lain atau ketika menggunakan bahasa itu, ia langsung teringat dengan kampung halamannya. Padahal sebelumnya ia tak meyangka bisa meninggalkan tempat itu.

“Saya merasa nyaman ketika bertemu dengan orang-orang asal Korea Utara. Saya bisa langsung menggunakan aksen Korea Utara saya. Saya masih canggung dan merasa terpaksa berbicara seperti orang Korea Selatan.“


Bendera Korea selatan


Bendera Korea Utara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar